Senin, 15 Oktober 2007

Kedudukan dan Peran Banser

CianjurNews

Kedudukan Banser

Banser atau Barisan Ansor Serbaguna merupakan tenaga inti GP Ansor sebagai penggerak, pengemban, dan pengaman program-program sosial kemasyarakatan yang keanggotaannya memiliki kualifikasi: disiplin dan dedikasi tinggi, ketahanan fisik dan mental yang tangguh, penuh daya juang dan dapat mewujudkan cita-cita GP Ansor dan kemaslahatan umum.

Banser memiliki pola hubungan instruktif, koordinatif dan konsultatif baik secara vertikal maupun horisontal di seluruh satuan koordinasi melalui Pimpinan GP Ansor.

Tugas dan Kegiatan Utama Serta Tanggungjawab Banser

Tugas dan kegiatan utama Banser meliputi:

  1. Kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan untuk pembangunan
  2. Pengamanan lingkungan
  3. Kegiatan bela negara

Tanggungjawab Banser meliputi:

  1. Menjaga, memelihara, menjamin kelangsungan hidup dan kejayaan organisasi khususnya dan terutama bagi keluarga Nahdlatul Ulama
  2. Bersama dengan kekuatan bangsa lain untuk tetap menjaga dan menjamin keutuhan bangsa dari segala ancaman, hambatan, gangguan dan tantangan.

Dalam pelaksanaan keorganisasian, Banser dikendalikan dan diawasi oleh GP Ansor di semua tingkatan dengan pola mekanisme koordinasi Ketua GP Ansor mempunyai kewenangan untuk memberikan instruksi kepada Komandan di semua tingkatan. Sedangkan hubungan antara Komandan kepada Ketua GP Ansor disemua tingkatan hanya terbatas pada hubungan konsultatif. Pola pelaksanaan organisasi ini menunjukkan bahwa pemberian status semi otonom pada Banser merupakan kewenangan yang diberikan oleh Ketua GP Ansor pada Satuan Koordinasi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan internbal Banser, sedangkan untuk kepentingan eksternal harus terkait langsung dengan ketua GP Ansor.

Pengertian semi otonom seperti dijelaskan di atas harus dipahami secara menyeluruh oleh para pelaksana Organisasi Banser, sehingga akan dapat mengantisipasi terjadinya ketimpangan organisasi dimana Banser merasa memiliki nilai lebih ketimbang GP Ansor sehingga mereka tidak mau dikendalikan dan diarahkan oleh GP Ansor.

Mekanisme kerja antara GP Ansor dengan Bansere di semua tingkatan memenuhi mekanisme sbb:

mekanisme-banser1.jpg

Paradigma Baru Banser

Banser sebagai kader inti yang menjadi bagian integral GP Ansor sudah mulai melakukan perubahan internal. Perubahan paradigma Banser yang sebelumnya berorientasi militeristik telah ditinjau-ulang karena tidak sejalan lagi dengan semangat zaman. Kini Banser tidak hanya ditempatkan sebagai kekuatan paramiliter dan penjaga keamanaan, akan tatapi Banser telah memiliki paradigma baru yang berorientasi pada semangat civil society yang juga diprogramkan GP Ansor. Ini berarti Banser ke depan ditempatkan menjadi sayap kekuatan GP Ansor yang berorientasi pada kerja-kerja kemanusiaan yang konkret, peduli, dan ramah. Kekuatan Banser hendaknya senantiasa menjadi alat kepanjangan GP Ansor untuk menolong dan bertindak demi kemanusiaan, khususnya bagi warga NU, umat Islam, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ini berarti Banser tidak hanya bertugas mengamankan situasi dan kondisi, serta lingkungan dimana kekuatan Banser berada. Akan tetapi Banser paling tidak dapat menjadi kekuatan semacam Satkorlak atau Tim SAR yang bertugas untuk menyelamatkan masyarakat dari penderitaan hidupnya, baik penderitan akibat bencana alam yang sering terjadi, maupun penderitaan sosial dan ekonomi. Pelatihan-pelatihan ketrampilan menjadi prioritas Banser, sehingga dengan demikian paradigmanya terus bergeser ke arah pemberdayaan masyarakat sipil yang berorientasi kemanusiaan dan profesionalisme

Sejarah Banser

CianjurNews* Tahun 1924 dengan berlatar belakang pada berdirinya organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Minahasa, Jong Celebes berdiri organisasi kepemudaan Syubbanul Wathan yang berarti Pemuda Tanah Air yang berdiri di bawah panji Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan dipimpin oleh Abdullah Ubaidmelalui media khusus telah memiliki anggota 65 orang. Perkembangan selanjutnya Subbanul Wathan disambut baik oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sebagai elemen unsur pemuda sehingga ratusan pemuda mencatatkan diri sebagai anggota, karena aktifitas organisasi ini menyentuh kepentingan dan kebutuhan pemuda saat itu.

Karena Subbanul Wathan telah diterima baik oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) pemuda maka membentukorganisasi kepanduan yang diberi nama Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air) sebagai inspektur umum kwartir Imam Sukarlan Suryoseputro. Kelanjutan perkembangan organisasi ini sampai apada masalah-masalah Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang menitikberatkan pada aspek kebangsaan dan pembelaan tanah air.

Setelah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri (31 Januari 1926) kegiatan organisasi agak mengendor karena beberapa orang pengurusnya aktif dan disibukkan untuk mengurus organisasi NU.

Atas dasar pemikiran dan upaya Abdullah Ubaid dan Thohir Bakri pada tahun 1930 mengembangkan dan membangun organisasi yang berpengaruh di tingkat nasional yang diberi nama Nahdlatus Subban (Kebangkitan Pemuda), yang dipimpin oleh Umar Burhan.

Dengan latar belakang pengarahan KH. Abdul Wahab (guru besar kaum muda waktu itu) beliau menyebut beberapa ayat suci Al-Qur’an yang mengisahkan kesetiaan para sahabat Al-Khawariyyin yang tidak kepalang tanggung menolong perjuangan para Nabi menyiarkan ajaran Islam dengan pengorbanan lahir maupun batin, mereka tampil sebagai pejuang yang tangguh dalam membela dan membentengi perjuangan Islam, kemudian Nabi memberi nama penghormatan kepda mereka dengan sebutan Ansor yang berarti mereka yang menolong. Kemudian pada tanggal 24 April 1934 berdirilah organisasi ANO yang berarti Ansoru Nahdlatul Oelama yang dimaksudkan dapat mengambil berkah (Tabarrukan) atas semangat perjuangan para sahabat Nabi dalam memperjuangkan dan membela serta menegakkan agama Allah. Diharapkan kelak senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat ansor yang selalu bertindak dan bersikap sebagai pelopor dalam memberikan pertolongan untuk menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen yang seharusnya senantiasa dipegang teguh oleh para anggota Gerkan Pemuda Ansor.

Melalui kongres I tahun 1936, Kongres II Tahun 1937 dan Kongres III tahun 1938 memutuskan ANO mengadakan Barisan Berseragam yang diberi nama Banoe (Barisan Nahdlatul Oelama) dengan merinci jenis riyadloh yang diperbolehkan:
1. Pendidikan baris berbaris
2. Latihan Lompat dan Lari
3. Latihan angkat mengangkat
4. Latihan ikat mengikat (Pioner)
5. Fluit Tanzim (belajar kode/isyarat suara)
6. Isyarat dengan bendera (morse)
7. Perkmpungan dan perkemahan
8. Beljar menolong kecelakaan (PPPK)
9. Musabaqoh Fil Kholi (Pacuan Kuda)
10. Muromat (melempar lembing dan cakram)

Dari perkembangan-perkembangan yang terjadi inilah maka ANO kemudian menjadi Gerakan Pemuda Ansor dan Banoe menjadi Barisan Ansor Serbaguna atau disingkat dengan Banser.

GP ANSOR PASCA KEMERDEKAAN

CianjurNews* Seperti diketahui bahwa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tersiar berita bahwa pemerintah Inggris dan kerajaan Belanda telah sepakat bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Persetujuan tersebut terkenal dengan nama Civil Affair Agreement.

Atas dasar itu, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul NU di seluruh Jawa dan Madura. Dalam undangan tersebut disebutkan agar tanggal 21 Oktober 1945, para undangan datang ke Kantor PBNU di Jl. Sasak, No.23. Malamnya, 23 Oktober 1945, rapat PBNU yang dihadiri seluruh konsul NU se-Jawa dan Madura dimulai. Rais Akbar KH. Hasyim Asy’arie menyampaikan amanatnya berupa pokok kaidah kewajiban umat islam dalam berjihad membela tanah air. Rapat yang dipimpin Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi, yang diberinama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”. Intinya, mewajibkan setiap umat Islam (Fardlu ‘Ain) mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan musuh.

Resolusi jihad tersebut telah membakar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo dan menjadi sumber inspirasi dan motifasi dalam mengusir penjajah, peristiwa 10 Nopember 1945 tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, ANO kembali konsentrasi memikirkan persoalan internal oragnisasi. Mohammad Chusaini Tiway (Tokoh ANO Surabaya) yang pertama kali melempar ide untuk mengadakan reuni Pemuda bekas ANO. Waktu itu, Chusaini baru saja kembali dari medan tempur menghadapi agresi II Militer Belanda di seputar Jombang, Mojokerto dan Tuban. Pada tanggal 14 Desember 1949 reuni yang direncanakan itu pun berlangsung semarak di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh menteri agama RIS KH.A. Wahid Hasyim. KH.A Wahid Hasyim mengemukakan pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor karena dua hal: (1) Untuk membentengi perjuangan umat Islam Indonesia; (2) Untuk mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU.

Dari pengarahan KH.A. Wahid Hasyim kemudian lahir kesepakatan: Membangun kembali organisasi ANO dengan nama baru: Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor, hanya kemudian dipergunakan GP Ansor karena lebih populer, disepakati Pucuk Pimpinan berkedudukan di Surabaya.

Perubahan ANO menjadi Ansor itu juga tercermin dalam Anggaran Dasar (AD), pasal I sebagai berikut: Organisasi ini bernama Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor didirikan kembali di Surabaya pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai kelanjutan dari ANSOR NAHDLATUL ULAMA yang didirikan pada tanggal 10 Muharram 1353 atau tangal 24 April 1934.

Karena itu, setelah terjadi kesepakatan, beberapa tokoh menghubungi aktivis Ansor di daerah agar segera membangkitkan kembali organisasinya, mulai dari tingkat ranting, Anak Cabang, Cabang dan Wilayah atau Daerah. Dalam hal ini, PBNU juga tidak tinggal diam, kendati secara organisatoris, GP Ansor bukan lagi merupakan bagian (departemen) pemuda NU, melainkan sudah menjadi badan otonom yang dengan sendirinya, memiliki aturan rumah tangga sendiri.

Namun demikian, induk organisasi ini tak henti-hentinya memberikan bimbingan dan panutan. Guna mempercepat proses konsolidasi organisasi pada tahap awal itu, Ketua PBNU (KH.M.Dachlan) membentuk sebuah Tim beranggotakan tiga orang: Chamid Widjaja, Chusaini Tiway, dan A.M.Tachjat.

Tim ini diberi tugas untuk menyusun pengurus PP GP Ansor secepat mungkin. Setelah melalui berbagai diskusi, akhirnya Tim berhasil memilih Chamid Widjaja sebagai ketua umum PP GP Ansor periode pemula itu.

Dengan terpilihnya Chamid Widjaja, berarti masa kebangunan kembali GP Ansor telah dimulai. Langkah berikutnya, menurut catatan Moh. Saleh, pada awal tahun 1950 hampir seluruh jajaran Ansor, mulai dari tingkat Ranting hingga wilayah sudah terbentuk. Bahkan pada tahun yang sama, Cabang Istimewa Singapura juga berhasil didirikan.

Kongres Ansor 1951

Pesatnya perkembangan organisasi ini mendorong Ketua Umum Chamid Widjaja untuk secepatnya mengadakan kongres. Sebab, hanya dengan kongreslah masa depan Ansor dapat dibicarakan secara mendalam, maka pada tahun 1951 diadakan kongres pertama dikota Surabaya. Berbagai masalah, baik yang menyangkut AD/ART, program kerja maupun arah kegiatan serta target yang ingin dicapai, berhasil dirumuskan. Lebih dari itu, kongres juga berhasil menyusun risalah Ansor I dan II (berisi riwayat singkat organisasi), membuat tuntunan Kepanduan Ansor dan memilih kembali Chamid Widjaja sebagai Ketua Umum PP GP Ansor periode dua tahun mendatang.

Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor

Roda organisasi terus berputar. Semua jajaran, mulai dari Ranting Anak Cabang, Cabang dan Wilayah, juga terus berkembang. Namun, suatu ketika, ternyata macet lagi. Penyakit lama (kesalahpahaman antara anak dan bapak) rupanya kambuh lagi dan sempat menyumbat roda organisasi. Sebab-musababnya kambuh, juga tak jelas. Yang terang, kedua belah pihak kemudian sepakat mencari resep. Maka lahirlah Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951.

Persetujuan bersama ini menunjukkan adanya keretakan hubungan antara NU dan Ansor. Tapi tidak sampai berlarut-larut karena cepat diatasi dengan persetujuan yang ditandatangani bersama antara KH.Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH. M. Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP.Ansor). Adapun isi persetujuan itu seperti berikut ini:
1. Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah.
2. Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU
3. Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah Wal jamaah.

Dilihat dari isi persetujuan, agaknya pada masa itu dikalangan GP Ansor mulai tumbuh benih-benih ketidaksetiaan kepada partai. Atau paling tidak, berbeda persepsi politik. Sehingga jika dibiarkan justru menjadi blunder bagi NU yang tegah berhitung dengan Masyumi. Agar perhitungan dengan Masyumi berjalan dengan mulus, maka diperlukan kondisi interen yang sehat.

Kongres IV 1956

Kongres IV berlangsung pada 29 Oktober - 2 November 1959 di kota Malang. Kota dingin itu tidak mampu meredam suasana kongres. Seperti tadi disinggung, medan kongres telah menjadi ajang pertarungan memperebutkan pengaruh untuk kedudukan. Keadaan ini terbaca jelas dari sambutan Ketua GP Ansor Jawa Timur, Moh Saleh yang wanti-wanti agar suasana kongres tidak dirusak oleh penyakit hub-bur-riasah dan hub-bul-jaah.

Penyakit gila pangkat kedudukan, agaknya tengah terjangkit dikalbu Pemuda Ansor waktu itu. Sehingga, Moh Saleh, merasa perlu mengemukakan pandangannya agar semua pihak menahan diri. Ia juga menyarankan, hendaknya pembicaraan dan perdebatan dalam kongres dititik beratkan pada masalah program kerja bagi meningkatkan kualitas anggota gerakakan. Lebih jauh ia mengingatkan, bahwa GP Ansor bukan lagi organisasi kecil, melainkan sudah menjadi organisasi pemuda terbesar di Tanah Air ini. Karenanya, pengurus GP Ansor di semua jajaran hendaknya insafi akan dirinya bakal memikul amanat ummat yang kini tengah berada di pundak NU.

Kongres VI 1963

Kongres VI GP Ansor berlangsung pada 20-25 Juli 1963 di Surabaya. Namun seperti telah disinggung, sebelum memasuki medan kongres ini grafik Ansor justru meluncur ke bawah. Di bidang politik, kritik-kritik panas dikemukakan buat mengoreksi realitas politik NU. Sehingga penampilan Ansor terlihat lesu dalam aktivitas, tapi segar dalam menyuguhkan kritik maupun koreksi.

Perkembangan politik sebelum dan sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menuntut NU untuk lebih berhati-hati, dan lebih banyak menggunakan pertimbangan politis, tanpa mengorbankan prinsip sebagai gerakan Islam. Misalnya, peristiwa politik (sebelum Dekrit) mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari jabatan Wakil Presiden (1 Desember 1956) disusul sikap politik Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet Ali-Roem-Idham (21 Januari 1957) dan, selanjutnya (14 Maret 1957) kabinet Ali-Idham menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Semua peristiwa itu, sungguh mebikin panik partai NU.

Pihak yang kontra (KH. Bishri Syansuri, KH. M. Dachlan, Imron Rosyadi dan Achmad Siddiq) mendasarkan alasannya bahwa, lembaga tersebut dibentuk secara demokratis dan tidak memberi kesempatan golongan oposisi. Karena itu, aliran kontra ini berpendapat : NU lebih baik berada di luar dulu, jangan keburu masuk.

Sedangkan pihak yang pro (KH. Wahab Hasbullah, KH. Masykur KH. Idham Chalid, Zainul Arifin, Saifuddin Zuhri dan H.A.Syaikhu), mendasarkan alasan bahwa kalau berada di luar justru tidak bisa melakukan hak control dan amar ma’ruf nahi mungkar. Oposisi di luar lembaga jelas tak mungkin, dan salah-salah bisa dicap reaksioner dan dibubarkan. Lebih baik masuk dulu, lalu manggil Dewan Partai bersidang. Kalau Dewan memutuskan setuju masuk, kita sudah di dalam. Tapi, jika Dewan Partai tidak setuju apa susahnya menarik keluar?

Dekalarasi Sala 1962

Guna melicinkan jalan ke kongres VI, PP. GP.Ansor mengadakan konferensi Besar (Kombes) 26-27 Desember 1962 di kota Sala. Dalam konbes ini berbagai kendala yang menghadang aktifitas Ansor dikaji secara cermat. Hubungan Ansor-NU yang cenderung memburuk dan diliputi berbagai prasangka ketidak setiaan Ansor terhadap induknya, juga dibahas secara mendalam.

Nama-nama tokoh pucuk Pimpinan yang hadir dalam konbes antara lain, Yusuf Hasyim (Ketua II PP.GP Ansor) Aminuddin Aziz (Ketua III) Chalid Mawardi (Sekretaris Umum), Mahbub Djunaidi (anggota) Ansori Syam (anggota), Danial Tanjung (Anggota) dan H. Qosim A. Gani (Anggota). Sedangkan dari pimpinan Wilayah yang hadir tercatat 17 Propinsi, antara lain: Sumatera (semua wilayah ), Kalimantan (semua wilayah), Sulawesi (semua wilayah), Djambi, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.

Konbes kemudian mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Deklarasi Sala, yang isinya memperkuat kembali persetujuan bersama PBNU PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951, yang ditandatangani KH. Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH.M Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP Ansor).

Inti dari persetujuan bersama itu terdiri dari tiga point: (1) Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah; (2) Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU; dan (3) Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah wal jamaah.

Deklarasi tertanggal 27 Desember 1962 itu, ditanda tangani Yusuf Hasyim, Moh. Saleh dan Chalid Mawardi atas nama Konferensi Besar.

Dengan demikian, dalam masa 11 tahun (1951-1962) Ansor telah dua kali mengatakan Ikrar: tunduk, taat dan patuh kepada NU, Ibarat seorang anak, maka dalam kurun waktu 11 tahun Pemuda Ansor berlaku banal. Bahkan berkat kebinalannya itu timbul prasangka sementara kalangan (baik di dalam maupun di luar Partai NU) akan kesetiaan Ansor terhadap NU. Sehingga, ia harus menyatakan kembali komitmen dasarnya, yakni sebagai kader NU dan kader Ahlussunnah wal jamaah.

Di Tengah Masa Sulit

Peristiwa G/30/PKI merupakan sejarah suram bangsa yang tidak bisa dilupakan oleh Ansor terutama NU. Sebab, pengalaman pahit yang menimpa warga NU (Pemuda Ansor) dalam aksi PKI di Madiun 1948, puluhan bahkan ratusan warga NU menjadi korban keganasan palu arit. Karma itu seperti dikemukakan oleh KH.Saefuddin Zuhri, Perlawanan NU terhadap PKI di lakukan di semua medan juang.

Antara PKI dan NU berhadapan sebagai lawan. PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi Pemuda Ansor dan Banser-nya. PKI mengerakkan Lekranya, NU mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyajikan lagu Genjer-genjer yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan Salawat Badar. NU mengobarkan semangat perlawanan terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948.

Di Jawa Timur misalnya, aksi sepihak PKI selalu gagal, Pemuda Ansor dan Banser (Barisan Ansor Serbaguna)-nya senantiasa selalu berada di barisan paling depan dalam menghalau aksi PKI seperti di kemukakan oleh Haji Yoesoef Zakaria. Bahwa sejak 1961, GP. Ansor Jawa Timur di bawah pimpinan Hizbullah Huda, mengadakan kosolidasi organisasi secara intensif. Bahkan sampai dengan tahun 1963, hampir seluruh Ranting Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.

Peristiwa G/30/S/PKI di tahun 1960-an dipahami oleh banyak pihak, sebagai gerakan terselubung yang berlindung di balik nama besar Bung Karno. Para kader dan anggota Biro Khusus menyusup kedalam organisasi politik. Kader lainnya mengerakkan organisasi buruh di berbagai bidang profesi dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) sebagai wadah induk. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) juga tak putus-putusnya mengeluarkan semboyan menarik; Seni Untuk Rakyat, Seni Untuk Revolusi.

Bahkan dalam buku Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, bahwa saat itu PKI memainkan kartu “As”, sutradara politik yang memainkan hampir semua kekuatan untuk mendukung cita-citanya. Infiltrasi politik di tubuh PNI misalnya, berlangsung mulus hingga partai terbesar itu terbelah menjadi dua: PNI ASU (Ali Surachman) dan PNI Osa-Usep. Keduanya saling berhadapan, bertarung dalam menghadapi setiap isu-isu politik yang, notabene, diciptakan oleh PKI.

PKI benar-benar di atas angin, Bung Karno berhasil dikuasai. Partai politik saat itu tidak bisa berbuat banyak lantaran takut terkena cap sebagai kontra revolusioner. Golongan atau kekuatan apa saja yang menghalagi PKI di cap kontra revolusi. Akibatnya tentu saja, dimusuhi Bung Karno, jika tidak dihabisi atau diberangus seperti lembaga kebudayaan asing dan pencetus Manifes Kebudayaan tadi.

Masyarakat Indonesia sangat tidak sepakat dengan dasar-dasar pikiran PKI. Kalimat DN Aidit yang selalu di jadikan pegangan, ketika DN Aidit berpidato di depan peserta Pendidikan Kader Revolusi (1964), antara lain DN Aidit mengatakan bahwa sosialisme jika sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Padahal, Pancasila bagi kebanyak masyarakat Indonesia adalah dasar Negara yang masih tetap ideal.

Secara perlahan dan pasti masyarakat juga curiga dengan Sukarno, karena dianggap manuver politik PKI tidak jauh beda dengan pikiran Bung Karno. Sebagaimana isi pidato Bung Karno dalam Kongres X PNI (28 Agustus-1 September 1963) di Purwokerto, antara lain Bung Karno menegaskan: Marhaenisme dan Marxisme yang diterapkan di Indonesia, yang intinya adalah sosialisme Indonesia Marhaenisme macam inilah yang akan dijadikan dasar perjuangan.

Karena aksi massa PKI tidak terbendung lagi dan membuat masyarakat merasa khawatir. Membuat ormas-ormas NU termasuk GP Ansor seperti yang telah dikemukakan Chalid Mawardi juga khawatir dengan manuver PKI. Maka tidak heran jika bangkit mengimbangi aksi-aksi itu. Kendati dengan resiko perkelahian, penculikan dan pembunuhan. Kontra aksi massa dari ormas NU dipelopori oleh GP Ansor dengan backing massa dari Pertanu (Persatuan Tani NU), Sarbumusi (Sarekat Buruh NU) dan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya NU) di bidang kebudayaan.

NU (termasuk didalamnya GP Ansor) semakin menemukan kebenaran perhitungan politiknya, setelah RRI kembali menyiarkan berita bahwa Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto dan RPKAD berhasil merebut kembali RRI dan kantor telekomunikasi serta berhasil mengiring para pelaku G 30 S/PKI ke Lubang Buaya, yang lebih menyakinkan lagi adalah penegasan Mayjen Soeharto, bahwa Gestapu PKI adalah perbuatan Kontra Revolusi yang harus diberantas. (pengumuman dikeluarkan pada malam tanggal 1 Oktober 1965).

Sejak itu PKI mulai kedodoran. Operasi penumpasan G 30 S/PKI digerakkan di mana-mana. Tidak terkecuali juga dilakukan di lingkungan NU, tepatnya tanggal 2 Oktober, pimpinan muda NU HM. Subchan ZE, membentuk organisasi Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusioner Gerakan 30 September disingkat dengan KAP GESTAPU. Menyusul kemudian kesatuan-kesatuan aksi hingga melahirkan Front Pancasila. Di dalamnya bergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI (berdiri 25 Oktober) disusul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), serta kesatuan-keasatuan lainnya yang anti komunis.

Kemudian, pada 5 Oktober 1965, NU dan semua ormas pendukungnya terutama GP.Ansor mengeluarkan pernyataan resmi: Mendesak Presiden Soekarno untuk segera membubarkan PKI dan antek-anteknya; Mencabut Surat Izin Terbit (SIT) semua media cetak langsung maupun tak langsung membantu Gestapu PKI; menyerukan kepada seluruh Ummat Islam agar sepenuhnya membantu kepada ABRI dalam upaya memulihkan keamanan akibat Gestapu PKI.

Agaknya dikalangan Ormas Pemuda Gerakan Pemuda Ansor yang tak mungkin bisa melupakan perannya ketika menumpas PKI. Sebab tidak sedikit anggota gerakan yang gugur. Peristiwa Banyuwangi misalnya, menelan korban mati 40 anggota Ansor. Satu kampung dikepung oleh PKI yang rata-rata dipersenjatai. Terjadilah pertempuran berdarah hingga banyak menelan korban. Pertempuran penumpasan sisa-sisa PKI terus berlangsung di semua daerah di Jawa Timur. Dan setiap penumpasan, GP.Ansor merupakan tulang punggungnya. Tulang punggung bukanlah yang menumpang dipunggung. Karena itu, jasa Ansor seringkali tidak terlihat kendati tak satu pun yang berani menginkari peran Ansor kala itu. Dan bukan penghargaan yang dicari, melainkan yang utama adalah komunis tetap musuh agama. Dan harus diberantas.

Aparat keamanan segera mengkoordinasikan kekuatannya. Ansor tentu tak ketinggalan. Kapten Hambali Pasi I Kodim Blitar menemui Kayubi Komda GP. Ansor Kediri diruang BPH Blitar. Hambali meminta agar GP.Ansor bersedia mengenakan pakaian Hansip dan ikut ke Blitar Selatan membantu Operasi Trisula. Mengapa Ansor? Jawab Hambali. Sebab Pemuda Ansor tidak diragukan lagi ke-pancasilaannya. Kalau menggunakan hansip regular, masih perlu penyaringan. Dan itu sulit, Kayubi segera memberangkatkan Banser-nya ke gunung-gunung batu di selatan sungai Brantas, di wilayah Blitar Selatan

TERBENTUKNYA GP ANSOR (Pra Kemerdekaan)

CianjurNews* Sejarah lahirnya GP Ansor tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kelahiran dan gerakan NU itu sendiri. Tahun 1921 telah muncul ide untuk mendirikan organisasi pemuda secara intensif. Hal itu juga didorong oleh kondisi saat itu, di mana-mana muncul organisasi pemuda bersifat kedaerahan seperti, Jong Jafa, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Minahasa, Jong Celebes dan masih banyak lagi yang lain.

Dibalik ide itu, muncul perbedaan pendepatan antara kaum modernis dan tradisioonalis. Disebabkan oleh perdebatan sekitar tahil, talking, taqlid, ijtihad, mashab dan masalah furuiyah lainnya. Tahun 1924 KH. Abdul Wahab membentuk organisasi sendiri bernama Syubbanul Wathan (pemuda tanah air). Organisasi baru itu kemudian dipimpin oleh Abdullah Ubaid (Kawatan) sebagai Ketua dan Thohir Bakri (Peraban) sebagai Wakil Ketua dan Abdurrahim (Bubutan) selaku sekretaris.

Setalah Syubbanul Wathan dinilai mantap dan mulai banyak remaja yang ingin bergabung. Maka pengurus membuat seksi khusus mengurus mereka yang lebih mengarah kepada kepanduan, dengan sebutan “ahlul wathan”. Sesuai kecendrungan pemuda saat itu pada aktivitas kepanduan sebagaimana organisasi pemuda lainnya.

Setalah NU berdiri (31 Januari 1926), aktivitas organisasi pemuda pendukung KH. Abdul Wahab (pendukung NU) agak mundur. Karena beberapa tokoh puncaknya terlibat kegiatan NU. Meskipun demikian, tidak secara langsung Syubbanul Wathan menjadi bagian (onderbouw) dari organisasi NU.

Atas inisiatif Abdullah Ubaid, akhirnya pada tahun 1931 terbentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU). Kemudian tanggal 14 Desember 1932, PPNU berubah nama menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Pada tahun 1934 berubah lagi menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Meski ANO sudah diakui sebagai bagian dari NU, namun secara formal organisasi belum tercantum dalam struktur NU, hubungannya masih hubungan personal.

Baru pada muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 21-26 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai Departemen Pemuda NU, satu tingkat dengan bagian da’wah, ekonomi, mubarrot dan ma’arif. Adapun struktur ANO pertama: President: H.M. Thohir Bakri; vice President: Abdullah Oebaid; dan secretaris : H. Acmad Barawi, Abdussalam

Kongres I di Surabaya

Kongres pertama di Surabaya baru dihadiri 8 Cabang dari Jawa Timur dan 2 Cabang dari Jawa Tengah. Disebabkan karena saat itu sebagian besar cabang NU bukan belum memiliki inisiatif, tetapi juga masih muncul pro-kontra pendirian ANO. Pada saat Muktamar NU ke-11 (9-13 Juni 1936), baru kemudian merekomendasikan agar masing-masing NU membentuk ANO.

Kongres II di Malang

Setelah ANO berdiri di berbagai daerah, PB ANO kemudian mengambil insiatif untuk melaksanakan Kongres II. Salah satu keputusan penting kongres adalah mendirikan Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kemudian disebut Banser. Selain itu juga menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama menyangkut Banoe.

Kongres III 1938

Langkah ANO sebagai organisasi pemuda semakin berkembang, dan Kongres III ini dianggap sebagai Kongres paling bersejarah dan menyedot perhatian luas. Waktu itu, setiap peserta kongres mengenakan pakaian seragam kebesaran. Sementara Banoe menunjukkan keterampilannya dalam baris berbaris dan olah raga pencak silat, terkesan solid dan tema yang diangkat sangat aktual. Memutuskan beberapa hal penting: (1) meningkatkan pengamalan reglement; (2) memperingati hari lahir ANO setiap tahun di semua cabang; (3) mendirikan banoe di semua cabang dan mengaktifkan Riyadlatul Badaniyah serta latihan baris berbaris; (4) mengusahakan terwudnya taman bacaan di setiap cabang; (5) mengesahkan Mars ANO al iqdam; (6) berusaha bersama NU mendirikan poliklinik; (7) menginstruksikan kepada setiap cabang untuk mengaktifkan confrentie found; (8) mengutus Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid ke Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten.Â

Kongres IV: Gabungan 1939

Bahwa kongres ANO IV rencananya dilaksanakan di Madura (Pemekasan), oleh Muktamar NU ke-13 di Menes, agar digabung dengan Muktamar NU ke-14 di Magelang (15-21 Juli 1939). Pada kongres kali ini, pro kontra tentang eksistensi ANO sudah bisa dikatakan berakhir.

Profil Gerakan Pemuda Ansor

Gerakan Pemuda Ansor (disingkat GP Ansor) adalah sebuah organisasi kemasyaratan pemuda di Indonesia, yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama24 April 1934. GP Ansor juga mengelola Banser. GP Ansor merupakan salah satu organisasi terbesar dan memiliki jaringan terluas di Indonesia, dimana memiliki akar hingga tingkat desa. (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal

Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan penjajahan dan penumpasan G30S, peran Ansor sangat menonjol.

Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi ‘’konflik'’ internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.

Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab—ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen awal yang harus dipegang teguh setiap anggota ANO (GP Ansor).

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO dengan NU saat itu masih bersifat hubungan pribadi antar tokoh. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).

Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang Malang mengembangkan organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut BANSER (Barisan Serbaguna). Dalam Kongres II ANO di Malang tahun 1937. Di Kongres ini, Banoe menunjukkan kebolehan pertamakalinya dalam baris berbaris dengan mengenakan seragam dengan Komandan Moh. Syamsul Islam yang juga Ketua ANO Cabang Malang. Sedangkan instruktur umum Banoe Malang adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh yang namaya tetap dikenang dan bahkan diabadikan sebagai salah satu jalan di kota Malang.

Salah satu keputusan penting Kongres II ANO di Malang tersebut adalah didirkannya Banoe di tiap cabang ANO. Selain itu, menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama yang menyangkut soal Banoe.

Pada masa pendudukan Jepang organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk ANO. Setelah revlusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, melempar mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH. Wachid Hasyim – Menteri Agama RIS kala itu, maka pada tanggal 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).

GP Ansor hingga saat ini telah berkembang sedemikan rupa menjadi organisasi kemasyarakatan pemuda di Indonesia yang memiliki watak kepemudaan, kerakyatan, keislaman dan kebangsaan. GP Ansor hingga saat ini telah berkembang memiliki 433 Cabang (Tingkat Kabupaten/Kota) di bawah koordinasi 32 Pengurus Wilayah (Tingkat Provinsi) hingga ke tingkat desa. Ditambah dengan kemampuannya mengelola keanggotaan khusus BANSER (Barisan Ansor Serbaguna) yang memiliki kualitas dan kekuatan tersendiri di tengah masyarakat.

Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial, politik dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang stategis dalm setiap pergantian kepemimpinan nasional.

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) berkedudukan di Ibukota Negara RI Jakarta dalam sejarahnya merupakan kelanjutan dari organisasi Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO)� yang didirikan di tengah-tengah pelaksaan Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi Jawa Timur, pada 10 Muharram 1353 Hijriyah atau bertepatan dengan 24 April 1934. Karenanya, keberadaan GP Ansor tidak terlepas dan menjadi bagian integral Nahdlatul Ulama (NU), sebagi salah satu Badan Otonom (Banom) yang memiliki tugas untuk mengorganisir kaum muda NU.

Posisi yang demikian menjadikan GP Ansor mempunyai dua peran sekaligus yang memiliki ruang lingkup gerak yang berbeda. Pada tataran sebagai ormas pemuda yang keberadaannya dijamin UU No. 8 Tahun 1985 tentang Keormasan, GP Ansor memiliki kemandirian, keleluasaan, dan kebebasan dalam mengaktualisasikan visi dan misinya, orientasi, program serta kegiatannya. Namun di sisi lain, sebgai salah satu Banom NU, GP Ansor pada beberapa aspek mempunyai kewajiban hukum dan moral untuk terikat kepada ketentuan organisasi NU.

Dalam perjalanan perannya, selama ini GP Ansor telah mampu mensinergikan kedua posisi dan peran tersebut secar dinamis, proposional dan prodktif.

JENIS ANGGOTA GP ANSOR

Anggota GP Ansor terdiri dari:

1. Anggota biasa, selanjutnya disebut anggota ialah pemuda warga negara Indonesia yang beragama Islam, berusia antara 20 tahun hingga 45 tahun.
2. Anggota kehormatan, ialah setiap orang yang dianggap telah berjasa kepada oganisasi dan disetujui penetapannya sera disahkan dalam Rapat Pengurus Harian Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.

SYARAT-SYARAT ANGGOTA

1. Pemuda warga negara Indonesia.
2. Beragama Islam
3. Berusia 20 tahun hingga 45 tahun
4. Menyetujui Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga
5. Sanggup mentaati dan melaksanakan semua keputusan dan peraturan organisasi.

TATA CARA PENERIMAAN ANGGOTA

1. Penerimaan angota dapat dilakukan di tingkat ranting, anak cabang, cabang dan wilayah domisili calon anggota.
2. Tatacara dan pengelolaan administrasi penerimaan anggota diatur oleh Pimpinan Pusat.
3. Pegusulan anggota kehormatan dilakukan atas usul rapat harian Pimpinan Cabang, rapat harian Pimpinan Wilayah, atau rapat harian Pimpinan Pusat. Setelah usulan memperoleh persetujuan Pimpinan Pusat kepadanya diberikan keputusan penetapan.

Kewajiban Anggota

Anggota Gerakan Pemuda Ansor berkewajiban :

1. Memiliki keterikatan secara formal maupun moral serta menjunjung tinggi nama baik, tujuan dan kehormatan organisasi.
2. Menunjukkan kesetiaan kepada organisasi.
3. Tunduk dan patuh terhadap Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Peraturan dan keputusan organisasi Gerakan Pemuda Ansor.
4. Mengikuti secara aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi.
5. Mendukung dan mensukseskan seluruh pelaksanaan program organisasi.

Hak Anggota

Anggota Gerakan Pemuda Ansor berhak :

1. Memperoleh perlakuan yang sama dari organisasi.
2. Memperoleh pelayanan, pembelaan, pendidikan dan pelatihan serta bimbingan dari organisasi.
3. Menghadiri rapat anggota, mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan, memberikan usul dan saran yang bersifat membangun.
4. Memilih dan dipilih menjadi pengurus atau memegang jabatan lain yang diamanatkan kepadanya.
5. Mengadakan pembelaan terhadap keputusan organisasi tentang dirinya.

BERHENTI DAN PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN

Berhenti Dari Anggotaan

1. Anggota biasa dan anggota kehormatan Gerakan Pemuda Ansor keanggotaannya karena :

a. Meninggal dunia.
b. Atas permintaan sendiri.
c. Diberhentikan sementara.
d. Diberhentikan tetap.

2. Surat keputusan pemberhentian anggota dikeluarkan oleh Pimpinan Cabang tempat domisili yang bersangkutan atas keputusan Rapat Pleno Pimpinan Cabang.
3. Seseorang berhenti dari keanggotaan Gerakan Pemuda Ansor atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Pimpinan Pengurus yang menandatangani kartu anggotanya secara tertulis, atau dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang pimpinan yang menandatangani kartu anggotanya.

Pemberhentian Dari Keanggotaan

1. Anggota Gerakan Pemuda Ansor dapat diberhentikan sementara atau tetap apabila :

a. Dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota.
b. Melakukan perbuatan yang mencemarkan nama baik organisasi baik ditinjau dari segi syara’, peraturan perundang-undangan maupun keputusan dan peraturan organisasi.

2. Sebelum diberhentikan sementara, anggota yang bersangkutan diberikan peringatan tertulis oleh Pengurus Cabang dimana ia berdomisili yang merupakan hasil dari Rapat Pleno Pimpinan Cabang yang khusus diadakan untuk itu.
3. Apabila dalam waktu 15 (lima belas) hari peringatan tidak diindahkan, maka Pimpinan Cabang dapat memberhentikan sementara secara tertulis selama jangka waktu 1 (satu) bulan.
4. Apabila selama waktu pemberhentian sementara anggota yang bersangkutan tidak memperbaiki kesalahannya dan tingkah lakunya, maka dilakukan pemberhentian tetap dan kepadanya diberikan surat keputusan pemberhentian oleh Pimpinan Cabang.
5. Anggota yang diberhentikan sementara atau diberhentikan tetap dapat membela diri atau naik banding kepada Pimpinan Wilayah. Pimpinan Wilayah mengadakan rapat pleno khusus untuk itu dan mengambil keputusan atas permintaan banding itu paling lama 1 (satu) bulan setelah permintaan banding tersebut.
6. Dalam keadaan tertentu Pimpinan Pusat dapat melakukan pemberhentian sementara atau tetap terhadap seorang anggota melalui Rapat Pleno Pimpinan Pusat yang khusus diadakan untuk itu. Surat keputusan tentang pemberhentian itu dikirim kepada yang bersangkutan dan tembusannya kepada Pimpinan Cabang tempat dia berdomisili.
7. Anggota yang diberhentikan sementara atau diberhentikan tetap oleh Pimpinan Pusat diberi hak melakukan pembelaan diri dalam Konferensi Besar atau Kongres.

Dalam menjalankan pengkhidmatannya Ansor mempunyai landasan yang mensintesakan ciri ke-islaman dan ke-Indonesiaan dalam bentuk:

Landasan Akidah : Islam Ahlussnnah wal Jamaah

Landasan Kenegaraan :

  • Idiil : Pancasila
  • Konstitusional : UD 1945 beserta perubahan Pertma UUD 1945
  • Operasional: GBHAN 2004

Landasan Keorganisasian :

  • Khittah NU 1926
  • Keputusan-keputusan Muktamar NU ke 31 di Jawa Tengah
  • Peraturan Dasar/Anggaran Rumah Tangga GP Ansor

Landasan-landasan tersebut menjadi pedoman dalam mewjudkan Dasar-dasar Paham Keagamaan, Sikap Kebangsaan, dan Sikap Kemasyarkatan, meliputi:

a. Dasar-dasar Paham Keagamaan

GP Ansor mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber-sumber ajaran Islam yaitu Al-qur’an dan As-sunnah. Dalam ikhtiar untuk memahami dan menafsirkan serta mengumpulkan dan mengamalkan ajaran tersebut, GP Ansor mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menempuh manhaj salah satu dari madzhab empat: Syafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi. Dengan menghayati ajaran tersebut, GP Ansor memahami bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai dan tepat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, HAM, serta menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin) yang sifatnya menyempurnakan segala yang telah baik yang dimiliki umat manusia serta terus berikhtiar merumuskan hal-hal baru yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas peradaban, harkat, dan martabat manusia secara universal.

b. Sikap Kebangsaan dan Kenegaraan

GP Ansor memandang bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan konsekuensi logis untuk memperjuangkan terwujudnya cita-cita kehidpan sebuah bangsa secara konstitusional dan demokratis. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara ditempuh ikhtiar-ikhtiar kolektif hasil permusyawaratan dan kesepakatan seluruh komponen bangsa yang mencerminkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, kemaslahatan, kejujuran, solidaritas serta tenggang rasa yang berlandaskan pada konsitusi, hukum, dan perundangan yang berlaku. GP Ansor juga berpedoman bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara mencerminkan upaya mewadahi, mengakomodasi, melindungi, dan memperjuangkan seluruh aspirasi serta HAM kelompok-kelompok masyarakat tanpa kecuali dalam tatanan kehidupan kolektif yang sinergis dan harmonis.

c. Sikap Kemasyarakatan
GP Ansor mengembangkan sikap kemasyarakatan berdasarkan keyakinan keagamaan dan kebangsaan dengan memegang teguh prinsip-prinsip:

Sikap Tawasuth, prinsip hidup untuk bersikap dan berlaku adil dan lurus dalam menjalankan tugas, kewajiban dan tanggungjawab baik sebagai pribadi mapun warga negara.

Sikap Tasamuh, pengembangan prinsip toleransi terhadap munculnya perbedaan dan keragaman pandangan, baik dalam masalah keagamaan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.

Sikap Tawazun, prinsip keseimbangan dalam menjalankan pengabdian sebagai hamba Allah, antar sesama manusia, serta mampu memelihara kesimbangan terhadap masa lalu, masa kini dan masa depan.

Sikap I’tidal, prinsip mengambil sikap moderat dan merumuskan pendapat dan pemikiran maupun dalam perbuatan. Sikap ini menghindarkan diri dari hal-hal yang bersikap ekstrim dan radikal yang biasanya akan mengarah pada egoisme, hedonisme, dan arogansi.

Sikap Amar Ma’ruf Nahyi Munkar, prinsip keberanian menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menolak kebatilan yang dilakukan dengan penuh hikmah, istiqamah serta berdasarkan hukum.

Profil PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

Lebih lengkap kunjungi webnya di http://pmii.or.id

Profil Persatuan Islam

Persatuan Islam (disingkat Persis) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits (sabda Nabi). Organisasi Persatuan Islam telah tersebar di banyak provinsi antara lain Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Gorontalo, dan masih banyak provinsi lain yang sedang dalam proses perintisan. Persis bukan organisasi keagamaan yang berorientasi politik namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid'ah yang telah banyak menyebar di kalangan awwam orang Islam.

Visi dan Misi

A. Visi Jam’iyyah Persis adalah Terwujudnya al-jamaah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah.

B. Misi Jam’iyyah Persis adalah :

  1. Mengembalikan umat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
  2. Menghidupkan ruhul jihad, ijtihad, dan tajdid.
  3. Mewujudkan Mujahid, Mujtahid, dan Muwahhid.
  4. Meningkatkan kesejahteraan umat.

Sejarah Persatuan Islam

Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuanIslam. Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.

Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita=cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persis Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

Persis mempunyai lima bagian Otonom :

  1. Persistri
  2. Pemuda Persis
  3. Pemudi Persis
  4. Hima Persis
  5. Himi Persis
Jaringan

A. Pimpinan Pusat.

Jl. Perintis Kemerdekaan No. 2
Telp(022)4220704 Fax.4220702
BANDUNG 40117

B. Pimpinan Wilayah.

C. Pimpinan Daerah.
D. Pimpinan Cabang.
E. Pimpinan Jamaah

Profil Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 13 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Sejarah NU

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.


Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang , yang mayoritas di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam Nu juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Tujuan Organisasi


Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha Organisasi

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Struktur Organisasi

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Mustayar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan Organisasi

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

  • 31 Wilayah
  • 339 Cabang
  • 12 Cabang Istimewa
  • 2.630 Majelis Wakil Cabang / MWC
  • 37.125 Ranting
NU dan Politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.





Profil Muhammadiyah (OI)

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah.

Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah