Senin, 15 Oktober 2007

GP ANSOR PASCA KEMERDEKAAN

CianjurNews* Seperti diketahui bahwa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tersiar berita bahwa pemerintah Inggris dan kerajaan Belanda telah sepakat bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Persetujuan tersebut terkenal dengan nama Civil Affair Agreement.

Atas dasar itu, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul NU di seluruh Jawa dan Madura. Dalam undangan tersebut disebutkan agar tanggal 21 Oktober 1945, para undangan datang ke Kantor PBNU di Jl. Sasak, No.23. Malamnya, 23 Oktober 1945, rapat PBNU yang dihadiri seluruh konsul NU se-Jawa dan Madura dimulai. Rais Akbar KH. Hasyim Asy’arie menyampaikan amanatnya berupa pokok kaidah kewajiban umat islam dalam berjihad membela tanah air. Rapat yang dipimpin Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi, yang diberinama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”. Intinya, mewajibkan setiap umat Islam (Fardlu ‘Ain) mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan musuh.

Resolusi jihad tersebut telah membakar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo dan menjadi sumber inspirasi dan motifasi dalam mengusir penjajah, peristiwa 10 Nopember 1945 tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, ANO kembali konsentrasi memikirkan persoalan internal oragnisasi. Mohammad Chusaini Tiway (Tokoh ANO Surabaya) yang pertama kali melempar ide untuk mengadakan reuni Pemuda bekas ANO. Waktu itu, Chusaini baru saja kembali dari medan tempur menghadapi agresi II Militer Belanda di seputar Jombang, Mojokerto dan Tuban. Pada tanggal 14 Desember 1949 reuni yang direncanakan itu pun berlangsung semarak di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh menteri agama RIS KH.A. Wahid Hasyim. KH.A Wahid Hasyim mengemukakan pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor karena dua hal: (1) Untuk membentengi perjuangan umat Islam Indonesia; (2) Untuk mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU.

Dari pengarahan KH.A. Wahid Hasyim kemudian lahir kesepakatan: Membangun kembali organisasi ANO dengan nama baru: Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor, hanya kemudian dipergunakan GP Ansor karena lebih populer, disepakati Pucuk Pimpinan berkedudukan di Surabaya.

Perubahan ANO menjadi Ansor itu juga tercermin dalam Anggaran Dasar (AD), pasal I sebagai berikut: Organisasi ini bernama Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor didirikan kembali di Surabaya pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai kelanjutan dari ANSOR NAHDLATUL ULAMA yang didirikan pada tanggal 10 Muharram 1353 atau tangal 24 April 1934.

Karena itu, setelah terjadi kesepakatan, beberapa tokoh menghubungi aktivis Ansor di daerah agar segera membangkitkan kembali organisasinya, mulai dari tingkat ranting, Anak Cabang, Cabang dan Wilayah atau Daerah. Dalam hal ini, PBNU juga tidak tinggal diam, kendati secara organisatoris, GP Ansor bukan lagi merupakan bagian (departemen) pemuda NU, melainkan sudah menjadi badan otonom yang dengan sendirinya, memiliki aturan rumah tangga sendiri.

Namun demikian, induk organisasi ini tak henti-hentinya memberikan bimbingan dan panutan. Guna mempercepat proses konsolidasi organisasi pada tahap awal itu, Ketua PBNU (KH.M.Dachlan) membentuk sebuah Tim beranggotakan tiga orang: Chamid Widjaja, Chusaini Tiway, dan A.M.Tachjat.

Tim ini diberi tugas untuk menyusun pengurus PP GP Ansor secepat mungkin. Setelah melalui berbagai diskusi, akhirnya Tim berhasil memilih Chamid Widjaja sebagai ketua umum PP GP Ansor periode pemula itu.

Dengan terpilihnya Chamid Widjaja, berarti masa kebangunan kembali GP Ansor telah dimulai. Langkah berikutnya, menurut catatan Moh. Saleh, pada awal tahun 1950 hampir seluruh jajaran Ansor, mulai dari tingkat Ranting hingga wilayah sudah terbentuk. Bahkan pada tahun yang sama, Cabang Istimewa Singapura juga berhasil didirikan.

Kongres Ansor 1951

Pesatnya perkembangan organisasi ini mendorong Ketua Umum Chamid Widjaja untuk secepatnya mengadakan kongres. Sebab, hanya dengan kongreslah masa depan Ansor dapat dibicarakan secara mendalam, maka pada tahun 1951 diadakan kongres pertama dikota Surabaya. Berbagai masalah, baik yang menyangkut AD/ART, program kerja maupun arah kegiatan serta target yang ingin dicapai, berhasil dirumuskan. Lebih dari itu, kongres juga berhasil menyusun risalah Ansor I dan II (berisi riwayat singkat organisasi), membuat tuntunan Kepanduan Ansor dan memilih kembali Chamid Widjaja sebagai Ketua Umum PP GP Ansor periode dua tahun mendatang.

Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor

Roda organisasi terus berputar. Semua jajaran, mulai dari Ranting Anak Cabang, Cabang dan Wilayah, juga terus berkembang. Namun, suatu ketika, ternyata macet lagi. Penyakit lama (kesalahpahaman antara anak dan bapak) rupanya kambuh lagi dan sempat menyumbat roda organisasi. Sebab-musababnya kambuh, juga tak jelas. Yang terang, kedua belah pihak kemudian sepakat mencari resep. Maka lahirlah Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951.

Persetujuan bersama ini menunjukkan adanya keretakan hubungan antara NU dan Ansor. Tapi tidak sampai berlarut-larut karena cepat diatasi dengan persetujuan yang ditandatangani bersama antara KH.Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH. M. Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP.Ansor). Adapun isi persetujuan itu seperti berikut ini:
1. Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah.
2. Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU
3. Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah Wal jamaah.

Dilihat dari isi persetujuan, agaknya pada masa itu dikalangan GP Ansor mulai tumbuh benih-benih ketidaksetiaan kepada partai. Atau paling tidak, berbeda persepsi politik. Sehingga jika dibiarkan justru menjadi blunder bagi NU yang tegah berhitung dengan Masyumi. Agar perhitungan dengan Masyumi berjalan dengan mulus, maka diperlukan kondisi interen yang sehat.

Kongres IV 1956

Kongres IV berlangsung pada 29 Oktober - 2 November 1959 di kota Malang. Kota dingin itu tidak mampu meredam suasana kongres. Seperti tadi disinggung, medan kongres telah menjadi ajang pertarungan memperebutkan pengaruh untuk kedudukan. Keadaan ini terbaca jelas dari sambutan Ketua GP Ansor Jawa Timur, Moh Saleh yang wanti-wanti agar suasana kongres tidak dirusak oleh penyakit hub-bur-riasah dan hub-bul-jaah.

Penyakit gila pangkat kedudukan, agaknya tengah terjangkit dikalbu Pemuda Ansor waktu itu. Sehingga, Moh Saleh, merasa perlu mengemukakan pandangannya agar semua pihak menahan diri. Ia juga menyarankan, hendaknya pembicaraan dan perdebatan dalam kongres dititik beratkan pada masalah program kerja bagi meningkatkan kualitas anggota gerakakan. Lebih jauh ia mengingatkan, bahwa GP Ansor bukan lagi organisasi kecil, melainkan sudah menjadi organisasi pemuda terbesar di Tanah Air ini. Karenanya, pengurus GP Ansor di semua jajaran hendaknya insafi akan dirinya bakal memikul amanat ummat yang kini tengah berada di pundak NU.

Kongres VI 1963

Kongres VI GP Ansor berlangsung pada 20-25 Juli 1963 di Surabaya. Namun seperti telah disinggung, sebelum memasuki medan kongres ini grafik Ansor justru meluncur ke bawah. Di bidang politik, kritik-kritik panas dikemukakan buat mengoreksi realitas politik NU. Sehingga penampilan Ansor terlihat lesu dalam aktivitas, tapi segar dalam menyuguhkan kritik maupun koreksi.

Perkembangan politik sebelum dan sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menuntut NU untuk lebih berhati-hati, dan lebih banyak menggunakan pertimbangan politis, tanpa mengorbankan prinsip sebagai gerakan Islam. Misalnya, peristiwa politik (sebelum Dekrit) mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari jabatan Wakil Presiden (1 Desember 1956) disusul sikap politik Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet Ali-Roem-Idham (21 Januari 1957) dan, selanjutnya (14 Maret 1957) kabinet Ali-Idham menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Semua peristiwa itu, sungguh mebikin panik partai NU.

Pihak yang kontra (KH. Bishri Syansuri, KH. M. Dachlan, Imron Rosyadi dan Achmad Siddiq) mendasarkan alasannya bahwa, lembaga tersebut dibentuk secara demokratis dan tidak memberi kesempatan golongan oposisi. Karena itu, aliran kontra ini berpendapat : NU lebih baik berada di luar dulu, jangan keburu masuk.

Sedangkan pihak yang pro (KH. Wahab Hasbullah, KH. Masykur KH. Idham Chalid, Zainul Arifin, Saifuddin Zuhri dan H.A.Syaikhu), mendasarkan alasan bahwa kalau berada di luar justru tidak bisa melakukan hak control dan amar ma’ruf nahi mungkar. Oposisi di luar lembaga jelas tak mungkin, dan salah-salah bisa dicap reaksioner dan dibubarkan. Lebih baik masuk dulu, lalu manggil Dewan Partai bersidang. Kalau Dewan memutuskan setuju masuk, kita sudah di dalam. Tapi, jika Dewan Partai tidak setuju apa susahnya menarik keluar?

Dekalarasi Sala 1962

Guna melicinkan jalan ke kongres VI, PP. GP.Ansor mengadakan konferensi Besar (Kombes) 26-27 Desember 1962 di kota Sala. Dalam konbes ini berbagai kendala yang menghadang aktifitas Ansor dikaji secara cermat. Hubungan Ansor-NU yang cenderung memburuk dan diliputi berbagai prasangka ketidak setiaan Ansor terhadap induknya, juga dibahas secara mendalam.

Nama-nama tokoh pucuk Pimpinan yang hadir dalam konbes antara lain, Yusuf Hasyim (Ketua II PP.GP Ansor) Aminuddin Aziz (Ketua III) Chalid Mawardi (Sekretaris Umum), Mahbub Djunaidi (anggota) Ansori Syam (anggota), Danial Tanjung (Anggota) dan H. Qosim A. Gani (Anggota). Sedangkan dari pimpinan Wilayah yang hadir tercatat 17 Propinsi, antara lain: Sumatera (semua wilayah ), Kalimantan (semua wilayah), Sulawesi (semua wilayah), Djambi, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.

Konbes kemudian mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Deklarasi Sala, yang isinya memperkuat kembali persetujuan bersama PBNU PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951, yang ditandatangani KH. Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH.M Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP Ansor).

Inti dari persetujuan bersama itu terdiri dari tiga point: (1) Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah; (2) Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU; dan (3) Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah wal jamaah.

Deklarasi tertanggal 27 Desember 1962 itu, ditanda tangani Yusuf Hasyim, Moh. Saleh dan Chalid Mawardi atas nama Konferensi Besar.

Dengan demikian, dalam masa 11 tahun (1951-1962) Ansor telah dua kali mengatakan Ikrar: tunduk, taat dan patuh kepada NU, Ibarat seorang anak, maka dalam kurun waktu 11 tahun Pemuda Ansor berlaku banal. Bahkan berkat kebinalannya itu timbul prasangka sementara kalangan (baik di dalam maupun di luar Partai NU) akan kesetiaan Ansor terhadap NU. Sehingga, ia harus menyatakan kembali komitmen dasarnya, yakni sebagai kader NU dan kader Ahlussunnah wal jamaah.

Di Tengah Masa Sulit

Peristiwa G/30/PKI merupakan sejarah suram bangsa yang tidak bisa dilupakan oleh Ansor terutama NU. Sebab, pengalaman pahit yang menimpa warga NU (Pemuda Ansor) dalam aksi PKI di Madiun 1948, puluhan bahkan ratusan warga NU menjadi korban keganasan palu arit. Karma itu seperti dikemukakan oleh KH.Saefuddin Zuhri, Perlawanan NU terhadap PKI di lakukan di semua medan juang.

Antara PKI dan NU berhadapan sebagai lawan. PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi Pemuda Ansor dan Banser-nya. PKI mengerakkan Lekranya, NU mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyajikan lagu Genjer-genjer yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan Salawat Badar. NU mengobarkan semangat perlawanan terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948.

Di Jawa Timur misalnya, aksi sepihak PKI selalu gagal, Pemuda Ansor dan Banser (Barisan Ansor Serbaguna)-nya senantiasa selalu berada di barisan paling depan dalam menghalau aksi PKI seperti di kemukakan oleh Haji Yoesoef Zakaria. Bahwa sejak 1961, GP. Ansor Jawa Timur di bawah pimpinan Hizbullah Huda, mengadakan kosolidasi organisasi secara intensif. Bahkan sampai dengan tahun 1963, hampir seluruh Ranting Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.

PeristiwaƂ G/30/S/PKI di tahun 1960-an dipahami oleh banyak pihak, sebagai gerakan terselubung yang berlindung di balik nama besar Bung Karno. Para kader dan anggota Biro Khusus menyusup kedalam organisasi politik. Kader lainnya mengerakkan organisasi buruh di berbagai bidang profesi dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) sebagai wadah induk. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) juga tak putus-putusnya mengeluarkan semboyan menarik; Seni Untuk Rakyat, Seni Untuk Revolusi.

Bahkan dalam buku Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, bahwa saat itu PKI memainkan kartu “As”, sutradara politik yang memainkan hampir semua kekuatan untuk mendukung cita-citanya. Infiltrasi politik di tubuh PNI misalnya, berlangsung mulus hingga partai terbesar itu terbelah menjadi dua: PNI ASU (Ali Surachman) dan PNI Osa-Usep. Keduanya saling berhadapan, bertarung dalam menghadapi setiap isu-isu politik yang, notabene, diciptakan oleh PKI.

PKI benar-benar di atas angin, Bung Karno berhasil dikuasai. Partai politik saat itu tidak bisa berbuat banyak lantaran takut terkena cap sebagai kontra revolusioner. Golongan atau kekuatan apa saja yang menghalagi PKI di cap kontra revolusi. Akibatnya tentu saja, dimusuhi Bung Karno, jika tidak dihabisi atau diberangus seperti lembaga kebudayaan asing dan pencetus Manifes Kebudayaan tadi.

Masyarakat Indonesia sangat tidak sepakat dengan dasar-dasar pikiran PKI. Kalimat DN Aidit yang selalu di jadikan pegangan, ketika DN Aidit berpidato di depan peserta Pendidikan Kader Revolusi (1964), antara lain DN Aidit mengatakan bahwa sosialisme jika sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Padahal, Pancasila bagi kebanyak masyarakat Indonesia adalah dasar Negara yang masih tetap ideal.

Secara perlahan dan pasti masyarakat juga curiga dengan Sukarno, karena dianggap manuver politik PKI tidak jauh beda dengan pikiran Bung Karno. Sebagaimana isi pidato Bung Karno dalam Kongres X PNI (28 Agustus-1 September 1963) di Purwokerto, antara lain Bung Karno menegaskan: Marhaenisme dan Marxisme yang diterapkan di Indonesia, yang intinya adalah sosialisme Indonesia Marhaenisme macam inilah yang akan dijadikan dasar perjuangan.

Karena aksi massa PKI tidak terbendung lagi dan membuat masyarakat merasa khawatir. Membuat ormas-ormas NU termasuk GP Ansor seperti yang telah dikemukakan Chalid Mawardi juga khawatir dengan manuver PKI. Maka tidak heran jika bangkit mengimbangi aksi-aksi itu. Kendati dengan resiko perkelahian, penculikan dan pembunuhan. Kontra aksi massa dari ormas NU dipelopori oleh GP Ansor dengan backing massa dari Pertanu (Persatuan Tani NU), Sarbumusi (Sarekat Buruh NU) dan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya NU) di bidang kebudayaan.

NU (termasuk didalamnya GP Ansor) semakin menemukan kebenaran perhitungan politiknya, setelah RRI kembali menyiarkan berita bahwa Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto dan RPKAD berhasil merebut kembali RRI dan kantor telekomunikasi serta berhasil mengiring para pelaku G 30 S/PKI ke Lubang Buaya, yang lebih menyakinkan lagi adalah penegasan Mayjen Soeharto, bahwa Gestapu PKI adalah perbuatan Kontra Revolusi yang harus diberantas. (pengumuman dikeluarkan pada malam tanggal 1 Oktober 1965).

Sejak itu PKI mulai kedodoran. Operasi penumpasan G 30 S/PKI digerakkan di mana-mana. Tidak terkecuali juga dilakukan di lingkungan NU, tepatnya tanggal 2 Oktober, pimpinan muda NU HM. Subchan ZE, membentuk organisasi Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusioner Gerakan 30 September disingkat dengan KAP GESTAPU. Menyusul kemudian kesatuan-kesatuan aksi hingga melahirkan Front Pancasila. Di dalamnya bergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI (berdiri 25 Oktober) disusul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), serta kesatuan-keasatuan lainnya yang anti komunis.

Kemudian, pada 5 Oktober 1965, NU dan semua ormas pendukungnya terutama GP.Ansor mengeluarkan pernyataan resmi: Mendesak Presiden Soekarno untuk segera membubarkan PKI dan antek-anteknya; Mencabut Surat Izin Terbit (SIT) semua media cetak langsung maupun tak langsung membantu Gestapu PKI; menyerukan kepada seluruh Ummat Islam agar sepenuhnya membantu kepada ABRI dalam upaya memulihkan keamanan akibat Gestapu PKI.

Agaknya dikalangan Ormas Pemuda Gerakan Pemuda Ansor yang tak mungkin bisa melupakan perannya ketika menumpas PKI. Sebab tidak sedikit anggota gerakan yang gugur. Peristiwa Banyuwangi misalnya, menelan korban mati 40 anggota Ansor. Satu kampung dikepung oleh PKI yang rata-rata dipersenjatai. Terjadilah pertempuran berdarah hingga banyak menelan korban. Pertempuran penumpasan sisa-sisa PKI terus berlangsung di semua daerah di Jawa Timur. Dan setiap penumpasan, GP.Ansor merupakan tulang punggungnya. Tulang punggung bukanlah yang menumpang dipunggung. Karena itu, jasa Ansor seringkali tidak terlihat kendati tak satu pun yang berani menginkari peran Ansor kala itu. Dan bukan penghargaan yang dicari, melainkan yang utama adalah komunis tetap musuh agama. Dan harus diberantas.

Aparat keamanan segera mengkoordinasikan kekuatannya. Ansor tentu tak ketinggalan. Kapten Hambali Pasi I Kodim Blitar menemui Kayubi Komda GP. Ansor Kediri diruang BPH Blitar. Hambali meminta agar GP.Ansor bersedia mengenakan pakaian Hansip dan ikut ke Blitar Selatan membantu Operasi Trisula. Mengapa Ansor? Jawab Hambali. Sebab Pemuda Ansor tidak diragukan lagi ke-pancasilaannya. Kalau menggunakan hansip regular, masih perlu penyaringan. Dan itu sulit, Kayubi segera memberangkatkan Banser-nya ke gunung-gunung batu di selatan sungai Brantas, di wilayah Blitar Selatan

Tidak ada komentar: